Senin, 30 Mei 2011

MENAKAR DAN MENGUKUR

Seorang tua sedang merenung. "Dulu saya lahir dari keluarga
miskin. Ketika melihat orang kaya, saya bertanya-tanya mengapa
mereka egois, tidak mau menolong orang miskin memperbaiki masa
depan, bahkan tak jarang malah memandang rendah? Namun, ketika
kemudian saya menjadi kaya setelah bekerja keras, saya merasa orang
miskin itu malas, tak mau berinisiatif, maunya ditolong, iri, dan
tak pernah berterima kasih?" Pak tua itu menggeleng-geleng menyadari
kontradiksi di hati dan perasaannya. Mengapa begini?



Tak jarang dalam hidup ini, kita memiliki standar ganda dalam
"menakar dan mengukur". Kita kerap menilai orang lain dari "takaran"
atau pandangan subjektif kita, dan tak mampu memahami orang lain
dari sudut pandang orang itu. Kita kerap menuntut orang lain
bersikap dan berbuat seperti yang kita mau, padahal kita sendiri
belum tentu melakukan yang sebaliknya. Ketika berbuat salah, kita
tak ingin dihakimi. Sebaliknya, ingin dimaafkan dan dibantu keluar
dari kesalahan. Ketika membeli, kita menginginkan barang yang
berkualitas dengan harga bagus, dan akan sangat marah jika
dibohongi. Ketika susah, kita ingin orang lain menolong.



Apabila kita rindu tidak dihakimi, biarlah kita jangan menghakimi.
Apabila kita rindu dimaafkan ketika bersalah, biarlah kita jangan
menghukum, tetapi mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Sebab
ukuran yang kita pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepada kita.
Perhatikan ayat 38 "berilah": pengampunan, maaf, kesabaran,
kebaikan, pengertian, dukungan, kekuatan, kesempatan, pertolongan.
"... dan kamu akan diberi, " demikian sabda Kristus. Mau bukti? Coba
terapkan janji Tuhan ini --SST

JALANI HIDUP SEBAGAIMANA KITA HARAP ORANG LAIN JALANI
MAKA ITU PULALAH YANG AKAN KITA DAPATI

sumber:Yayasan Gloria

Rabu, 25 Mei 2011

DI ANGGAP BAIK

Penelitian selama 25 tahun di Universitas Tel Aviv mendapati bahwa
kinerja seseorang sangat dipengaruhi oleh pengharapan orang lain
atas kinerjanya. Dalam satu percobaan, manajer sebuah kantor cabang
bank dibagi dua. Kelompok A diberi tahu bahwa karyawan mereka luar
biasa; kelompok B tidak diberi tahu apa-apa tentang potensi karyawan
mereka. Sebenarnya potensi kedua kelompok karyawan itu sama.
Nyatanya, manajer kelompok A membuahkan hasil yang lebih bagus, baik
dari laba maupun kesuksesan ekonomis secara menyeluruh. Hal serupa
ditemukan juga di sekolah, kalangan militer, dan berbagai badan
sosial lain.



Pengharapan yang baik mengandung daya ubah yang luar biasa. Prinsip
itu bersumber dari Allah sendiri, seperti yang dapat kita pelajari
ketika Dia "mengubah" bangsa Israel yang dibuang ke Babel. Pertama,
Dia "menganggap" mereka seperti buah ara yang bagus (ayat 5). Mereka
tidak baik, tetapi Dia menganggap mereka baik dan memperlakukan
mereka dengan baik (bandingkan dengan Roma 4:5). Sesudah itu, Dia
"memberi mereka suatu hati untuk mengenal Aku" (ayat 7). Dia
mengubahkan hati mereka sehingga mereka menjadi umat Allah yang
sungguh-sungguh. Bukankah itu anugerah pembenaran dan kelahiran
kembali?



Lalu, bagaimana menerapkannya secara horisontal? Kita ingin anak,
murid, karyawan, dan tetangga kita semua baik, tetapi bisa jadi
mereka menjengkelkan. Maukah kita lebih dulu mengasihi mereka,
mengharapkan yang terbaik dari mereka (1 Korintus 13:5), menganggap
mereka baik, dan memperlakukan mereka dengan baik? --ARS

HAL-HAL YANG TIDAK INDAH PERLU DIKASIHI SUNGGUH-SUNGGUH
SEBELUM BERUBAH INDAH DAN MENAWAN HATI-G.K. CHESTERTON


*sumber Yayasan Gloria

Kamis, 19 Mei 2011

BAGI KEPENTINGAN TUHAN

Nick Vujicic, dilahirkan dengan cacat langka yang disebut
tetra-amelia. Ia tak punya lengan mulai dari bahu, dan hanya
memiliki satu kaki kecil dengan dua jari yang tumbuh dari paha
kirinya. Di luar kekurangan itu, Vujicic sangat sehat. Namun, ketika
sudah bersekolah, tak urung ke-kurangan fisiknya menjadi pusat
olokan. Ia sampai memohon agar Tuhan menumbuhkan tangan dan kakinya.
Namun, kondisi tak berubah. Ia pun depresi. Pada usia 8 tahun, ia
pernah mencoba bunuh diri.



Pada waktu Tuhan yang tepat, ia dimampukan untuk memandang hidupnya
secara baru: dalam kondisinya itu, Tuhan justru dapat memakainya
menjadi inspirasi bagi banyak orang. Maka, ia menyerahkan hidup
untuk melayani Tuhan di banyak negara. "Jika saya dapat memercayai
Tuhan dalam keadaan saya, Anda pun dapat memercayai Tuhan dalam
keadaan Anda, " simpulnya. Tuhan pun memampukannya meraih banyak
pencapaian-bahkan dalam beberapa hal ia lebih baik daripada orang
normal.



Vujicic memercayai rencana Tuhan yang baik baginya. Bahwa hidup
bukan demi kepentingannya pribadi, melainkan kepentingan Tuhan. Apa
pun kondisinya, ia dapat melayani Tuhan dengan cara dan kesempatan
terbaik yang ia miliki. Pekerjaan Allah pun dinyatakan di dalam dia.
Seperti yang Tuhan kerjakan dalam hidup Bartimeus yang buta sejak
lahir. Tuhan dimuliakan lewat hidupnya. Kini giliran kita. Tujuan
hidup kita pun bukan demi kenyamanan atau kesuksesan pribadi kita.
Akan tetapi, untuk kemuliaan-Nya. Pandanglah hidup secara demikian.
Maka, tak ada hidup yang tak berguna. Sebaliknya, setiap hidup dapat
menjadi alat berharga bagi kemuliaan-Nya yang kekal --AW

SETIAP HIDUP PASTI BERGUNA
BILA DIBERIKAN MENJADI TEMPAT TUHAN BERKARYA



sumber:yayasan Gloria